

Tren Wisata Ramah Lingkungan, kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan mengalami peningkatan signifikan. Hal ini tercermin dari perubahan perilaku konsumen dalam memilih destinasi wisata. Jika sebelumnya wisatawan cenderung tertarik pada tempat-tempat populer dan glamor, kini destinasi yang menonjolkan keberlanjutan, pelestarian alam, dan kearifan lokal menjadi semakin di minati. Tahun 2025 menjadi tonggak penting dalam pergeseran tren ini, di mana wisata ramah lingkungan tidak lagi menjadi pilihan alternatif, melainkan kebutuhan utama bagi sebagian besar pelancong modern.
Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), pencarian destinasi “ekowisata” di platform digital meningkat 42% pada kuartal pertama 2025 di bandingkan periode yang sama tahun lalu. Para pelaku industri pariwisata pun mulai merespons tren ini dengan menyesuaikan layanan dan fasilitas mereka agar lebih ramah lingkungan. Mulai dari penggunaan energi terbarukan, pengurangan sampah plastik sekali pakai, hingga pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan wisata menjadi bagian penting dari transformasi ini.
Salah satu contoh yang mencolok adalah kawasan Tangkahan di Sumatera Utara yang kini menjadi ikon wisata hijau di Indonesia. Dengan mengusung konsep konservasi alam dan pemberdayaan masyarakat sekitar, Tangkahan berhasil menarik perhatian wisatawan lokal dan mancanegara.
Tren Wisata Ramah Lingkungan ini membuka peluang besar bagi pengembangan pariwisata berkelanjutan di daerah-daerah yang selama ini belum terlalu terekspos. Daerah seperti Labuan Bajo, Raja Ampat, hingga Tana Toraja kini mulai menyesuaikan strategi promosi dan pengelolaan destinasi mereka agar lebih selaras dengan prinsip ramah lingkungan. Dengan dukungan dari pemerintah dan pemangku kepentingan, pariwisata Indonesia berpeluang menjadi contoh sukses penerapan konsep keberlanjutan di tingkat global.
Pemerintah Dan Tren Wisata Ramah Lingkungan Percepat Inisiatif Ekowisata pemerintah Indonesia melalui Kemenparekraf telah meluncurkan sejumlah program strategis pada tahun 2025. Salah satunya adalah program “Desa Wisata Hijau”, yang bertujuan mengembangkan ratusan desa di berbagai daerah agar menjadi destinasi wisata berbasis ekologi dan budaya lokal. Program ini tidak hanya menekankan aspek lingkungan, tetapi juga memperkuat ekonomi masyarakat desa secara berkelanjutan.
Hingga April 2025, lebih dari 150 desa wisata telah mendapatkan pendampingan untuk mengembangkan potensi alam dan budayanya secara ramah lingkungan. Pendampingan tersebut mencakup pelatihan pengelolaan sampah, penggunaan energi terbarukan, serta penguatan kapasitas pelaku usaha lokal dalam bidang pariwisata. Pemerintah juga menggandeng sektor swasta dan lembaga internasional untuk memastikan keberlanjutan inisiatif ini dalam jangka panjang.
Dari sisi regulasi, pemerintah mulai menerapkan kebijakan insentif bagi usaha pariwisata yang mengadopsi prinsip ramah lingkungan. Hotel, restoran, dan penyedia jasa wisata yang memenuhi standar keberlanjutan seperti sertifikasi CHSE (Clean, Health, Safety, and Environment) dan Green Hotel
Sejumlah operator tur besar seperti Panorama Tours dan Dwidaya Tour juga mulai mengadaptasi penawaran paket wisatanya dengan konsep eco-travel. Paket-paket ini menekankan aktivitas yang tidak merusak lingkungan, seperti wisata sepeda, penanaman pohon, konservasi satwa liar, dan kunjungan ke lokasi produksi lokal berkelanjutan. Selain itu, sejumlah maskapai nasional juga mulai menawarkan program carbon offset bagi penumpang yang ingin mengurangi jejak karbon dari perjalanan mereka.
Masyarakat lokal yang menjadi ujung tombak dalam inisiatif ini juga turut merasakan dampak positifnya. Di Desa Penglipuran, Bali, misalnya, konsep wisata bersih dan tertib yang telah di terapkan sejak lama kini mendapat perhatian lebih luas. Jumlah kunjungan meningkat 35% pada kuartal pertama 2025, dengan penghasilan rata-rata warga mengalami kenaikan 20%. Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak hanya membawa manfaat bagi alam, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan komunitas.
Destinasi Hijau Favorit 2025: Dari Raja Ampat Hingga Flores sebagai pelopor wisata hijau karena konsistensinya menjaga kelestarian lingkungan dan budaya. Pada tahun 2025, beberapa daerah berhasil menonjolkan diri sebagai destinasi favorit berkat strategi keberlanjutan yang mereka terapkan. Raja Ampat, Labuan Bajo, Flores, dan Ubud di Bali masuk dalam daftar destinasi teratas versi Asosiasi Ekowisata Indonesia.
Raja Ampat di Papua Barat tetap menjadi primadona karena keindahan lautnya yang luar biasa dan upaya komunitas lokal dalam menjaga ekosistem terumbu karang. Dengan dukungan berbagai LSM dan pemerintah daerah, kegiatan wisata seperti diving dan snorkeling di lakukan dengan standar ketat untuk menghindari kerusakan lingkungan. Pengunjung juga di himbau mengikuti aturan konservasi seperti larangan menyentuh karang dan membawa kembali sampah mereka sendiri.
Di Flores, kawasan Wae Rebo menjadi contoh sukses kolaborasi budaya dan ekowisata. Desa adat yang hanya dapat di akses dengan berjalan kaki ini mengutamakan pengunjung yang ingin. Merasakan kehidupan tradisional tanpa mengganggu ekosistem alam sekitarnya. Wae Rebo membatasi jumlah kunjungan harian dan menerapkan sistem kontribusi langsung ke masyarakat, yang kemudian di gunakan untuk pemeliharaan lingkungan dan pelestarian budaya.
Sementara itu, Ubud di Bali terus mengembangkan citra sebagai destinasi slow living dan wellness tourism. Hotel-hotel dan vila-vila di kawasan ini berlomba mengadopsi desain bangunan berkelanjutan, sistem pengolahan air limbah, serta penyediaan menu organik dari pertanian lokal. Selain itu, banyak paket wisata spiritual dan yoga di tawarkan dalam format ramah lingkungan, dengan pemandu bersertifikat yang memahami pentingnya kelestarian alam Bali.
Kawasan lain seperti Bukit Lawang, Tangkahan, dan Karimunjawa juga mencatat peningkatan kunjungan wisatawan. Yang tertarik dengan aktivitas berbasis alam, seperti pengamatan satwa liar, agro-wisata, dan camping ekologi. Keberhasilan destinasi-destinasi ini menunjukkan bahwa pendekatan wisata ramah lingkungan. Bukan hanya relevan untuk pelestarian alam, tetapi juga menjadi daya tarik tersendiri yang meningkatkan nilai jual suatu wilayah.
Tantangan Dan Peluang Pengembangan Wisata Berkelanjutan Di Indonesia, realisasinya masih menghadapi sejumlah tantangan serius. Salah satu hambatan terbesar adalah kurangnya edukasi terhadap masyarakat dan pelaku usaha kecil mengenai praktik berkelanjutan. Banyak desa wisata yang masih menggunakan plastik sekali pakai, membuang limbah sembarangan. Atau belum memahami konsep carrying capacity dalam menerima wisatawan.
Selain itu, masih ada kekhawatiran terhadap potensi “greenwashing”, di mana destinasi. Atau bisnis wisata mengklaim sebagai ramah lingkungan tanpa implementasi nyata. Kurangnya sistem audit dan sertifikasi mandiri juga menyulitkan wisatawan untuk menilai apakah suatu destinasi benar-benar berkelanjutan atau hanya mengejar tren. Hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap konsep wisata hijau secara keseluruhan.
Dari sisi infrastruktur, beberapa kawasan wisata hijau masih belum terjangkau transportasi umum atau akses yang layak, terutama di daerah terpencil. Ini menyebabkan ketergantungan pada transportasi pribadi atau sewa, yang justru berkontribusi terhadap emisi karbon. Perlu strategi terintegrasi untuk menghadirkan moda transportasi ramah lingkungan. Menuju destinasi ekowisata, seperti kereta api, bus listrik, atau kapal tenaga surya.
Namun di tengah tantangan tersebut, peluang pengembangan wisata berkelanjutan tetap terbuka lebar. Indonesia memiliki kekayaan hayati dan budaya yang luar biasa, serta komunitas-komunitas lokal yang siap diberdayakan. Dengan dukungan teknologi digital, pemasaran destinasi hijau kini lebih. Mudah di lakukan melalui media sosial, marketplace wisata, dan platform pemesanan daring.\
Dengan strategi yang tepat, Indonesia tidak hanya bisa menjaga warisan alam dan budayanya. Tetapi juga menjadi pemimpin dalam pengembangan wisata hijau di kawasan Asia Tenggara. Sinergi antara regulasi, edukasi, investasi, dan partisipasi masyarakat akan menjadi kunci. Agar tren ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi mengakar kuat dalam sistem pariwisata nasional dari Tren Wisata Ramah Lingkungan.