

Generasi Z Mulai Dominasi membawa dampak besar terhadap cara generasi muda mengelola keuangan. Jika generasi sebelumnya lebih banyak mengandalkan tabungan konvensional dan deposito sebagai bentuk investasi, kini Generasi Z—yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—lebih tertarik pada saham dan aset digital seperti kripto. Hal ini tercermin dari meningkatnya partisipasi usia 18-25 tahun dalam aplikasi trading saham dan platform aset kripto sejak 2021.
Kecanggihan teknologi dan akses internet yang luas telah memungkinkan Generasi Z untuk belajar secara mandiri tentang investasi. Banyak dari mereka memanfaatkan media sosial, YouTube, dan aplikasi edukasi finansial untuk memahami dasar-dasar investasi tanpa harus mengikuti seminar formal. Ditambah lagi, tren influencer finansial atau “finfluencer” yang mempopulerkan topik-topik seperti saham, reksa dana, dan kripto turut mendorong minat Gen Z.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per akhir 2024, sebanyak 37% investor baru di pasar modal berasal dari kelompok usia di bawah 30 tahun. Angka ini melonjak drastis di bandingkan lima tahun sebelumnya. Lonjakan yang sama terjadi di pasar kripto. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat bahwa investor kripto dari kalangan Gen Z meningkat dua kali lipat selama 2023–2024.
Generasi Z Mulai Dominasi meski begitu, tren ini juga memunculkan tantangan baru, terutama soal literasi keuangan. Banyak Gen Z yang tergoda masuk ke dunia investasi tanpa memahami risiko yang ada, terutama dalam aset kripto yang volatilitasnya sangat tinggi. Oleh karena itu, meskipun dominasi Gen Z dalam dunia investasi patut diapresiasi, perlu ada edukasi dan regulasi yang melindungi mereka dari potensi kerugian besar akibat keputusan impulsif atau informasi yang menyesatkan.
Peran Teknologi Dan Finfluencer Dalam Mendorong Partisipasi Gen Z Mulai Dominasi adalah kemajuan teknologi finansial (fintech). Aplikasi investasi yang ramah pengguna, ringan, dan cepat menjadi jembatan utama bagi Generasi Z untuk terjun ke dunia saham dan kripto. Berbeda dengan masa lalu yang memerlukan akses ke bank atau broker konvensional, kini segala proses bisa di lakukan hanya lewat gawai dalam genggaman.
Platform seperti Ajaib, Bibit, Stockbit, dan Pintu berhasil menarik perhatian dengan antarmuka sederhana dan sistem onboarding yang mudah di mengerti. Mereka juga mengintegrasikan fitur edukasi agar pengguna tidak hanya membeli aset secara buta, tapi juga memahami dasar-dasar investasi. Banyak dari platform ini juga menggandeng selebritas dan konten kreator untuk menjangkau pasar muda.
Fenomena “finfluencer” atau influencer finansial juga tidak bisa di abaikan. Nama-nama seperti Raditya Dika, Felicia Putri Tjiasaka, hingga akun-akun edukatif seperti @financialku atau @ngertisaham di Instagram dan TikTok menjadi rujukan bagi banyak anak muda. Konten mereka yang ringan, visual, dan berbasis pengalaman pribadi membuat investasi terasa lebih dekat dan mudah dipahami.
Namun, pengaruh finfluencer juga menimbulkan kekhawatiran. Beberapa dari mereka tidak memiliki latar belakang finansial yang kuat dan kadang memberi saran yang terlalu spekulatif. Oleh karena itu, OJK mulai memperketat aturan mengenai promosi investasi oleh publik figur. Perlu adanya keseimbangan antara edukasi dan perlindungan konsumen, agar partisipasi Gen Z tetap bertanggung jawab.
Selain itu, komunitas daring di media sosial, seperti grup Telegram, Discord, hingga Reddit, juga menjadi tempat diskusi aktif. Gen Z sangat terbiasa berbagi insight dan strategi, baik dalam forum formal maupun kasual. Namun, sayangnya, banyak juga yang terjebak pada “pump and dump” atau rekomendasi palsu yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Karakteristik Investasi Gen Z: Risiko Tinggi Dan Kecepatan Hasil Gen Z memiliki kecenderungan menyukai instrumen dengan potensi keuntungan tinggi, meski di sertai risiko besar. Saham-saham gorengan, NFT, hingga altcoin yang tidak stabil sering kali jadi pilihan. Karakter ini mencerminkan pola pikir Gen Z yang tumbuh dalam era kecepatan—cepat konsumsi, cepat sukses, dan cepat mendapat hasil.
Hal ini juga di perkuat oleh pola konsumsi informasi yang cepat, seperti video pendek di TikTok dan Instagram. Konsep “cuan cepat” sangat menggoda, terlebih saat melihat testimoni sukses dari sesama anak muda. Banyak yang berinvestasi bukan karena analisa fundamental, tetapi karena Fear of Missing Out (FOMO), di mana mereka takut tertinggal tren yang viral.
Namun bukan berarti seluruh Gen Z bersikap sembrono. Banyak juga yang mulai mempelajari konsep diversifikasi, dollar-cost averaging, dan strategi jangka panjang. Bahkan beberapa komunitas Gen Z sudah mulai berdiskusi tentang ETF, ESG investing, hingga value investing. Ini membuktikan bahwa, meskipun mereka suka risiko, mereka tetap bisa membangun portofolio yang bijak jika di dukung dengan edukasi yang baik.
Dalam dunia kripto, Gen Z juga sangat aktif sebagai pengembang maupun pengguna. Mereka bukan hanya investor pasif, tetapi juga aktif di dunia Web3, DAO (Decentralized Autonomous Organization), dan proyek blockchain lainnya. Ini memperlihatkan bahwa investasi bagi Gen Z bukan sekadar soal profit, tetapi juga bagian dari identitas digital dan inovasi teknologi.
Sayangnya, keinginan untuk “cuan cepat” juga membuat mereka rentan terhadap penipuan. Banyak kasus di mana anak muda kehilangan tabungan karena ikut proyek kripto bodong atau ikut investasi ilegal bermodus robot trading. Literasi finansial digital menjadi sangat penting agar tren positif ini tidak berubah menjadi krisis kepercayaan.
Tantangan Regulasi Dan Peran Edukasi Dalam Menjaga Keberlanjutan tantangan besar bagi regulator. OJK, Bappebti, dan lembaga lain harus mampu menyesuaikan pendekatan mereka terhadap karakteristik investor muda yang dinamis, digital-native, dan sangat di pengaruhi tren.
Salah satu tantangan terbesar adalah membendung penyebaran informasi palsu dan edukasi keliru di media sosial. Banyak platform dan influencer menyampaikan konten investasi tanpa dasar keuangan yang kuat, bahkan kadang menyarankan produk berisiko tinggi tanpa penjelasan yang memadai. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap pasar.
Untuk itu, pemerintah perlu mendorong integrasi edukasi keuangan sejak dini. Kurikulum sekolah bisa mulai memperkenalkan konsep literasi keuangan dasar, investasi, dan manajemen risiko. Beberapa sekolah dan universitas di kota besar sudah mulai mengimplementasikan program ini, namun skalanya masih terbatas.
Selain itu, perlu kolaborasi antara sektor swasta, regulator, dan komunitas untuk menciptakan ekosistem edukatif yang sehat. Misalnya, dengan menghadirkan platform investasi yang transparan, menyediakan fitur simulasi, hingga memfasilitasi mentor dari praktisi keuangan. Beberapa aplikasi seperti Bareksa dan Ajaib sudah mulai menyediakan kursus gratis untuk pemula.
Regulasi juga harus adaptif tanpa menghambat inovasi. Di pasar kripto, misalnya, aturan harus mampu melindungi investor dari penipuan tanpa mematikan potensi ekonomi digital yang besar. Bappebti telah menetapkan daftar aset kripto legal yang bisa di perdagangkan di Indonesia. Namun pengawasan terhadap bursa dan platform masih perlu diperketat.
Terakhir, partisipasi Gen Z dalam investasi sebaiknya di lihat sebagai peluang besar. Untuk menciptakan generasi yang lebih mandiri secara finansial. Dengan pendekatan edukatif yang tepat dan perlindungan yang memadai, mereka bisa menjadi pilar penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan bagi Generasi Z Mulai Dominasi.