Energi Terbarukan Jauh Dari Target Pemakian, Ini Penjelasannya
Energi Terbarukan Jauh Dari Target Pemakian, Ini Penjelasannya

Energi Terbarukan Jauh Dari Target Pemakaian, Ini Penjelasannya

Energi Terbarukan Jauh Dari Target Pemakaian, Ini Penjelasannya

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Energi Terbarukan Jauh Dari Target Pemakian, Ini Penjelasannya
Energi Terbarukan Jauh Dari Target Pemakian, Ini Penjelasannya

Energi Terbarukan Dari Sisi Fasilitas Pembangkit Listrik Berbasis EBT Masih Di Nyatakan Kurang Dan Harus Segera Terpenuhi Sebelum 2025. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa masih terdapat kekurangan kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 7,4 Giga Watt (GW) yang harus di penuhi. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara target yang telah di tetapkan dalam RUPTL PT. PLN dengan realisasi di lapangan. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan sebuah capaian. Yang mana, capaian saat ini masih jauh dari harapan yang telah di rumuskan sebelumnya. Ia menekankan bahwa target bauran energi terbarukanyang sebesar 23 persen ini masih membutuhkan usaha ekstra untuk mencapainya dalam waktu yang tersisa. Menurutnya, selisih 7,4 GW antara target dan realisasi tersebut menjadi tantangan besar yang harus segera di atasi.

Selain itu, Eniya juga berbagi pengalaman dari pertemuannya dengan perwakilan 20 negara yang tergabung dalam kelompok Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Salah satu isu yang menjadi sorotan dalam pertemuan tersebut adalah mengenai rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Dalam pertemuan tersebut, Eniya menemukan bahwa negara-negara ASEAN memiliki pendekatan yang berbeda-beda terhadap masalah ini. Misalnya, Filipina secara tegas menolak untuk mempensiunkan PLTU batu bara mereka. Sementara itu, Vietnam menunjukkan minat untuk meniru langkah Indonesia dalam rencana pensiun dini PLTU batu bara. Eniya mengungkapkan bahwa perwakilan Vietnam bahkan menyatakan keinginannya untuk mempelajari lebih lanjut proses yang sedang di jalankan Indonesia dalam program ini.

Dengan demikian, meskipun ada upaya dari Indonesia untuk memimpin dalam transisi energ terbarukani di kawasan ASEAN. Namun, tantangan domestik dalam mencapai target EBT tetap signifikan. Kekurangan kapasitas pembangkit listrik yang belum terpenuhi ini menunjukkan bahwa perjalanan menuju target bauran energi hijau terbarukan pada tahun 2025 masih panjang.

Mengurangi Ketergantungan Pada Energi Fosil Dan Beralih Ke Energi Terbarukan

Di tingkat regional, perbedaan pendekatan antara negara ASEAN terhadap pensiun dini PLTU batu bara menambah kompleksitas. Terutama dalam upaya bersama untuk Mengurangi Ketergantungan Pada Energi Fosil Dan Beralih Ke Energi Terbarukan. Kementerian ESDM melaporkan bahwa Indonesia memiliki jumlah peserta perdagangan karbon yang meningkat. Yang mana, menurut Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, terdapat 99 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Yang mana, PLTU tersebut terhubung ke jaringan PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 Megawatt yang terlibat dalam perdagangan karbon. 

Dadan menjelaskan bahwa pemerintah terus mendorong peningkatan partisipasi. Terutama dalam perdagangan karbon dari sektor pembangkit listrik. Dalam diskusi perdagangan dan bursa karbon Indonesia 2024, Dadan menguraikan bahwa perdagangan karbon di Indonesia sedang memasuki tahun keduanya. Yang mana hal tersebut dari fase pertama yang di mulai pada tahun 2023. Program ini di rencanakan akan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama mencakup tahun 2023 dan 2024. Kemudian, di lanjutkan dengan fase kedua yang berlangsung dari tahun 2025 hingga 2027. Selanjutnya, fase ketiga akan di mulai pada tahun 2028 dan berakhir pada tahun 2030. 

Perdagangan karbon akan di berlakukan secara bertahap pada seluruh pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil. Hal ini baik yang terhubung ke jaringan PLN maupun yang di gunakan untuk kepentingan sendiri. Termasuk juga pembangkit listrik yang beroperasi untuk keperluan internal maupun yang berada di wilayah usaha non-PLN. Selain itu, Kementerian ESDM mencatat bahwa hasil transaksi perdagangan karbon pada tahun 2023 mencapai 7,1 juta ton CO2 ekuivalen. Serta, transaksi tersebut memberikan nilai transaksi sekitar Rp84,17 miliar. Dari total tersebut, 7,04 juta ton berasal dari transaksi perdagangan emisi melalui mekanisme langsung. Angka ini menunjukkan bahwa perdagangan karbon di Indonesia mulai menunjukkan hasil yang signifikan dalam upaya mengurangi emisi karbon dari sektor energi terbarukan yang mulai di pergunakan.

Salah Satu Alat Untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca

Indonesia telah memulai langkah konkret dalam memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon sebagai Salah Satu Alat Untuk Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. Khususnya dari sektor pembangkit listrik berbahan bakar energ hijau. Perkembangan ini juga sejalan dengan upaya global untuk menghadapi perubahan iklim dengan lebih serius. Yang mana, mekanisme seperti ini di harapkan dapat memberikan insentif bagi pengurangan emisi dan peralihan ke energi terbarukan yang lebih bersih. 

Kemudian, dengan nilai transaksi di bursa karbon Indonesia telah mencapai lebih dari Rp 36 miliar menurut Direktur Utama BEI, Iman Rachman. Yang mana, Iman menjelaskan bahwa bursa karbon Indonesia telah memperdagangkan lebih dari 600 ribu ton unit karbon setara CO2. Hal ini menunjukkan adanya minat dan partisipasi yang semakin tinggi dari berbagai pihak dalam perdagangan karbon di Indonesia. Lebih lanjut, Iman menjelaskan bahwa di BEI, sekitar 90 persen emiten yang tercatat telah melaporkan laporan keberlanjutan untuk tahun 2022. Ini adalah langkah penting dalam mendorong perusahaan tercatat untuk menjadi model di pasar modal Indonesia. Terutama, dalam hal penerapan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Sebagai bagian dari upaya ini, BEI telah memperkenalkan indeks saham yang terkait dengan ESG dan memberikan insentif. Insentif tersebut berupa pengurangan biaya pencatatan untuk obligasi berwawasan lingkungan. 

Selain itu, BEI juga bekerja sama dengan lembaga penilai ESG Internasional untuk memberikan layanan penilaian ESG terhadap perusahaan yang terdaftar di BEI. Serta, menyediakan layanan penilaian ESG bagi BEI sendiri. Selain dari aspek perdagangan karbon dan keberlanjutan, Iman menekankan bahwa regulator terus mendorong perusahaan untuk mengadopsi prinsip keberlanjutan. Tentunya, pengadopsian tersebut dalam lingkup operasional bisnis mereka. 

Selain itu, potensi besar pasar perdagangan karbon kredit di Indonesia juga di akui oleh berbagai pihak. Seperti Anggota Badan Hubungan Legislatif KADIN Indonesia, Dede Indra Permana Soediro. Yang mana, ia menyatakan bahwa perdagangan karbon kredit di pasar internasional telah menjadi mekanisme yang di gunakan oleh negara-negara maju.

Perdagangan Karbon Di Indonesia Menunjukkan Tren Yang Positif

Pada tahun 2023, nilai perdagangan karbon di pasar global mencapai USD 480 miliar. Yang mana, ini setara dengan Rp 8.000 triliun dan menunjukkan potensi ekonomi yang sangat besar. Indonesia sendiri memiliki hutan tropis ketiga terbesar di dunia, dengan luas area mencapai 125,9 juta hektar. Sehingga, di harapkan mampu menyerap sekitar 25 miliar ton emisi karbon. Dede menyampaikan bahwa jika Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat memanfaatkan potensi ini dengan baik. Sehingga, negara ini bisa meraup pemasukan yang sangat besar dari perdagangan karbon kredit. Pemasukan tersebut akan datang melalui pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Yang mana, pada gilirannya dapat berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian nasional. 

Secara keseluruhan, perkembangan Perdagangan Karbon Di Indonesia Menunjukkan Tren Yang Positif. Yaitu, dengan partisipasi yang terus meningkat dan potensi ekonomi yang besar di masa depan. Upaya untuk mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam bisnis juga semakin mendapat perhatian. Serta, di dukung oleh regulasi yang kuat dan insentif dari pihak regulator. Dengan memanfaatkan potensi alamnya, Indonesia berada pada posisi yang strategis untuk mengambil peran penting dalam perdagangan karbon global. Yang mana, ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga mendukung upaya global dalam mengatasi perubahan iklim melalui penggunaan Energi Terbarukan.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait