
Sumatra Barat secara resmi meluncurkan program pelestarian Rumah Gadang sebagai bagian dari upaya menjaga warisan budaya Minangkabau yang kian tergerus oleh modernisasi. Program ini di canangkan oleh Gubernur Sumatra Barat, Mahyeldi Ansharullah, dalam sebuah acara yang berlangsung di Istano Basa Pagaruyung, Kabupaten Tanah Datar, yang juga menjadi simbol budaya Minangkabau. Dalam sambutannya, Gubernur Mahyeldi menekankan bahwa pelestarian Rumah Gadang tidak hanya penting sebagai bentuk perlindungan warisan arsitektur tradisional, tetapi juga sebagai identitas kultural yang harus diwariskan kepada generasi muda.
Program ini akan mencakup pemetaan Rumah Gadang yang masih berdiri, revitalisasi bangunan yang rusak, dan penyusunan regulasi baru yang memberikan insentif kepada pemilik Rumah Gadang untuk tetap mempertahankan bentuk aslinya. Pemerintah provinsi akan menggandeng Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III, akademisi dari Universitas Andalas, dan komunitas adat untuk memastikan bahwa pendekatan yang di gunakan selaras dengan nilai-nilai lokal. “Kami ingin Rumah Gadang tidak hanya menjadi objek wisata, tapi juga tetap berfungsi sebagai tempat tinggal dan pusat kehidupan sosial masyarakat Minangkabau,” ujar Gubernur.
Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan dana hibah sebesar Rp50 miliar dari APBD 2025 untuk tahap awal revitalisasi. Dana tersebut akan di salurkan melalui Dinas Kebudayaan dan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dengan prioritas pada daerah-daerah yang memiliki konsentrasi tinggi Rumah Gadang, seperti Kabupaten Agam, Tanah Datar, dan Lima Puluh Kota.
Sumatra Barat dari pihak legislatif, dalam hal ini DPRD Sumatra Barat, juga memberikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan program ini. Ketua DPRD Provinsi Sumatra Barat, Supardi, menegaskan pentingnya sinergi antara eksekutif dan legislatif agar program pelestarian ini memiliki payung hukum yang kuat. Ia juga mendorong agar perda khusus tentang pelestarian Rumah Gadang segera di rancang dan di sahkan. “Kita tidak bisa hanya berharap dari sisi eksekutif saja. Legislasi yang kuat di perlukan agar Rumah Gadang benar-benar terlindungi dari ancaman pembangunan yang tidak berkelanjutan,” ucapnya.
Tantangan Modernisasi Sumatra Barat: Rumah Gadang Kian Terpinggirkan, keberadaan Rumah Gadang menghadapi berbagai tantangan serius. Banyak Rumah Gadang yang terbengkalai karena tidak lagi di huni atau tidak mampu bersaing dengan rumah-rumah modern yang di anggap lebih praktis dan murah dalam perawatan. Generasi muda Minangkabau pun di nilai mulai kehilangan ketertarikan untuk tinggal di rumah tradisional karena di nilai tidak relevan dengan gaya hidup masa kini.
Menurut data dari Dinas Kebudayaan Sumatra Barat, jumlah Rumah Gadang yang masih berdiri dalam kondisi baik terus menurun dari tahun ke tahun. Dari sekitar 7.000 unit yang tercatat pada awal 2000-an, kini hanya tersisa sekitar 3.500 unit dalam kondisi layak huni. Sisanya mengalami kerusakan struktural atau bahkan telah di runtuhkan dan di ganti dengan bangunan permanen bergaya modern.
Modernisasi juga membuat fungsi sosial Rumah Gadang berkurang. Dulu, Rumah Gadang tidak hanya di gunakan sebagai tempat tinggal, tapi juga sebagai pusat musyawarah keluarga dan pelaksanaan upacara adat. Kini, peran itu perlahan di gantikan oleh gedung serbaguna atau rumah pribadi yang lebih kecil. Masyarakat pun mulai mempertanyakan relevansi Rumah Gadang dalam konteks sosial masa kini. Hal ini di perparah oleh arus urbanisasi yang menyebabkan banyak generasi muda pindah ke kota dan meninggalkan rumah pusaka mereka.
Beberapa pemilik Rumah Gadang menyebut kendala utama adalah biaya perawatan yang tinggi serta minimnya dukungan dari pemerintah dan lembaga keuangan. Struktur kayu yang dominan membutuhkan perawatan rutin agar tidak lapuk dan di serang rayap. Tanpa insentif ekonomi atau subsidi, banyak keluarga memilih meninggalkan Rumah Gadang. Oleh karena itu, program baru pemerintah di harapkan dapat memberikan angin segar bagi pelestarian rumah adat ini. Dengan adanya keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk lembaga keuangan syariah dan BUMN, di harapkan dapat di temukan skema pembiayaan alternatif yang lebih ramah bagi masyarakat adat.
Kolaborasi Multisektor Untuk Revitalisasi Rumah Gadang tidak akan berjalan efektif tanpa adanya kerja sama lintas sektor. Pemerintah daerah pun merancang skema kolaboratif yang melibatkan lembaga pendidikan, komunitas adat, sektor swasta, dan lembaga internasional. Salah satu bentuk kerja sama yang sudah berjalan adalah program kemitraan dengan UNESCO, yang telah melakukan kajian awal mengenai potensi Rumah Gadang sebagai warisan budaya dunia.
Universitas Andalas, melalui Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Budaya, juga ikut berperan dalam proses revitalisasi ini. Para mahasiswa arsitektur terlibat dalam program magang lapangan untuk mendokumentasikan dan menggambar ulang struktur Rumah Gadang yang masih asli. Sementara itu, para antropolog melakukan kajian mengenai dinamika sosial masyarakat yang tinggal di Rumah Gadang untuk memastikan revitalisasi tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga kultural. Kegiatan ini juga di manfaatkan sebagai sarana pembelajaran langsung bagi mahasiswa mengenai pentingnya pelestarian budaya lokal.
Di sektor swasta, sejumlah pengembang properti lokal mulai diajak bekerja sama untuk mengembangkan kawasan wisata budaya berbasis Rumah Gadang. Mereka di tantang untuk menciptakan model hunian modern yang tetap mempertahankan estetika dan filosofi arsitektur Minangkabau. Pemerintah juga tengah menyiapkan regulasi insentif fiskal bagi pengusaha yang berinvestasi di sektor pelestarian budaya.
Selain itu, Lembaga Adat Minangkabau turut di libatkan sebagai mitra utama dalam memastikan bahwa setiap proses pelestarian sejalan dengan nilai-nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Mereka juga di beri ruang untuk melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek yang berkaitan dengan Rumah Gadang. Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Buya H. Amir Syarifuddin, menyambut baik langkah pemerintah ini. “Ini adalah momen untuk menyatukan kembali warisan leluhur dengan kehidupan masyarakat kontemporer. Dengan rumah Gadang harus menjadi simbol kebanggaan, bukan sekadar peninggalan masa lalu,” ujarnya.
Rumah Gadang Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya, Rumah Gadang memiliki potensi besar untuk di kembangkan. Menjadi daya tarik wisata budaya yang berkelanjutan. Pemerintah Sumatra Barat pun telah memasukkan revitalisasi Rumah Gadang ke dalam rencana induk pengembangan pariwisata daerah 2025–2030. Konsep desa wisata budaya menjadi salah satu fokus utama, di mana wisatawan bisa merasakan langsung. Kehidupan masyarakat Minangkabau di tengah lingkungan Rumah Gadang yang otentik.
Kabupaten Tanah Datar dan Agam menjadi pilot project pengembangan kawasan wisata budaya berbasis Rumah Gadang. Wisatawan akan disuguhi atraksi seni tradisional, kuliner khas, serta workshop pembuatan tenun songket dan ukiran kayu Minang. Paket wisata yang terintegrasi ini di harapkan dapat meningkatkan lama tinggal wisatawan serta memberikan dampak ekonomi langsung bagi masyarakat lokal. Pemerintah juga menggandeng pelaku industri kreatif untuk memproduksi cenderamata bertema Rumah Gadang yang dapat di jual di pasar domestik maupun ekspor.
Dalam jangka panjang, program ini di harapkan tidak hanya melestarikan warisan budaya. Tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor pariwisata. Pemerintah berharap minat wisatawan terhadap budaya lokal dapat tumbuh seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga identitas kultural mereka. Seperti yang di katakan oleh Kepala Dinas Pariwisata Sumatra Barat, Yulinar Sari, “Rumah Gadang bukan hanya bangunan. Tapi juga cerminan jiwa dan semangat masyarakat Minangkabau. Melalui pariwisata, kita hidupkan kembali semangat itu.”
Dengan peluncuran program pelestarian ini, Sumatra Barat menegaskan komitmennya untuk menjaga keberlanjutan budaya lokal dalam arus zaman yang terus berubah. Rumah Gadang di harapkan kembali menjadi pusat kehidupan masyarakat, bukan hanya. Sebagai peninggalan sejarah yang diam, tetapi sebagai bagian hidup yang terus bernapas dan berkembang. Pemerintah provinsi pun berharap bahwa langkah ini menjadi contoh bagi daerah lain. Dalam merawat warisan budaya mereka masing-masing dari Sumatra Barat.