

Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia Dengan EAEU menjadi salah satu capaian penting dalam diplomasi ekonomi Indonesia tahun 2025. Setelah negosiasi yang berlangsung selama lebih dari lima tahun, kedua pihak akhirnya mencapai kesepahaman substansial yang di rencanakan akan di tandatangani secara resmi pada Desember 2025.
EAEU sendiri merupakan blok ekonomi regional yang mencakup lima negara: Rusia, Kazakhstan, Armenia, Belarus, dan Kirgistan. Blok ini mewakili pasar dengan total populasi lebih dari 180 juta jiwa dan Produk Domestik Bruto gabungan senilai lebih dari 2 triliun dolar AS. Bagi Indonesia, kerja sama ini menawarkan peluang besar untuk diversifikasi pasar ekspor, mengingat selama ini ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada kawasan Asia Timur dan Amerika Utara.
Proses negosiasi di mulai sejak 2019, namun sempat tertunda karena pandemi COVID-19 dan situasi geopolitik yang tidak stabil. Meski demikian, upaya diplomatik terus di lakukan melalui pertemuan teknis, forum bisnis, dan diplomasi tingkat tinggi. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan menyebut kesepakatan ini sebagai “langkah maju untuk memperkuat posisi Indonesia di pasar nontradisional”.
Pemerintah Indonesia melihat EAEU sebagai kawasan strategis yang memiliki potensi kerja sama bukan hanya dalam bidang perdagangan, tetapi juga investasi, energi, dan teknologi. Negara-negara anggota EAEU di kenal sebagai produsen utama energi dan logam, sementara Indonesia menawarkan kekuatan di sektor pertanian, perikanan, tekstil, dan industri manufaktur ringan.
Kesepakatan Perdagangan Bebas ini akan membuka jalan bagi penghapusan atau penurunan tarif impor terhadap ratusan jenis komoditas Indonesia, sekaligus mempermudah prosedur kepabeanan. Langkah ini di nilai akan meningkatkan daya saing produk Indonesia di kawasan Eurasia dan memperkuat neraca perdagangan yang lebih seimbang.
Kesepakatan Perdagangan Bebas Membuka Peluang Ekspor Produk Unggulan Indonesia Ke Pasar Eurasia ini menjadi angin segar bagi para pelaku ekspor Indonesia, terutama di sektor pertanian, perikanan, makanan olahan, serta tekstil dan produk alas kaki. Dalam kesepakatan tersebut, di perkirakan lebih dari 90% pos tarif produk ekspor Indonesia ke EAEU akan mengalami penurunan tarif secara bertahap hingga penghapusan total dalam 5 tahun setelah implementasi.
Produk-produk seperti kopi, teh, rempah-rempah, minyak kelapa sawit, kakao, ikan olahan, serta produk tekstil akan menjadi sektor andalan yang di proyeksikan meningkat pesat dalam nilai ekspor. Selain itu, produk alas kaki dan furnitur berbahan kayu juga mendapat potensi pasar yang besar di Rusia dan Kazakhstan yang sedang mengalami pertumbuhan pasar konsumsi kelas menengah.
Pemerintah Indonesia menargetkan peningkatan ekspor nonmigas sebesar 20% ke negara-negara EAEU dalam dua tahun pertama setelah perjanjian di berlakukan. Ini sejalan dengan strategi nasional diversifikasi pasar ekspor yang tidak bergantung hanya pada negara-negara mitra dagang tradisional seperti Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) menyebut bahwa nilai ekspor Indonesia ke kawasan EAEU selama ini masih relatif kecil, yakni sekitar USD 1,2 miliar per tahun. Namun, dengan kesepakatan ini, proyeksi peningkatan bisa mencapai USD 3 miliar per tahun dalam jangka menengah.
Untuk mendukung upaya ini, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah program pelatihan ekspor, pembiayaan ekspor melalui LPEI (Eximbank), serta promosi produk melalui pameran dagang internasional di Moskow, Astana, dan Minsk.
Sementara itu, pelaku usaha nasional juga menyambut positif perjanjian ini. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyatakan bahwa EAEU bisa menjadi “pasar baru yang menjanjikan” bagi UKM ekspor, terutama di tengah melemahnya permintaan dari pasar tradisional akibat ketegangan geopolitik global.
Tantangan Implementasi: Regulasi, Logistik, Dan Adaptasi Pasar, kesepakatan perdagangan bebas ini tidak lepas. Dari tantangan yang perlu di antisipasi oleh pemerintah dan pelaku usaha. Salah satu tantangan utama adalah perbedaan standar regulasi dan sertifikasi produk antara Indonesia dan negara-negara EAEU, terutama Rusia yang menerapkan sistem kepabeanan dan karantina yang sangat ketat.
Pelaku usaha Indonesia harus mempersiapkan produk ekspor mereka agar sesuai dengan standar kualitas, sanitasi, dan pelabelan yang berlaku di negara-negara tersebut. Hal ini memerlukan sosialisasi, pelatihan teknis, dan dukungan dari lembaga-lembaga seperti BSN (Badan Standardisasi Nasional) dan BPOM.
Selain itu, tantangan logistik juga menjadi perhatian. Letak geografis yang jauh serta belum optimalnya konektivitas pelayaran langsung dari Indonesia ke pelabuhan utama. Di EAEU menyebabkan biaya pengiriman tinggi dan waktu tempuh yang panjang. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan BUMN pelabuhan tengah menjajaki kerja sama. Dengan mitra logistik Eurasia untuk membangun jalur pelayaran langsung dan jalur udara kargo reguler.
Sementara itu, kondisi geopolitik yang dinamis di kawasan Eropa Timur juga menjadi tantangan tersendiri. Ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat dapat memengaruhi stabilitas perdagangan, termasuk penggunaan sistem pembayaran internasional. Dalam hal ini, Indonesia dan EAEU tengah mengeksplorasi kemungkinan penggunaan mata uang lokal atau sistem pembayaran alternatif seperti BRICS Pay.
Dari sisi domestik, tantangan lain adalah kesiapan UKM dan industri kecil untuk bersaing dalam pasar ekspor. Banyak pelaku UKM belum memiliki kapasitas produksi besar dan sistem administrasi ekspor yang memadai. Pemerintah di harapkan memberi insentif dan fasilitas ekspor yang lebih mudah, termasuk digitalisasi proses ekspor.
Namun, meskipun tantangannya nyata, banyak analis percaya bahwa dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat mengambil manfaat maksimal dari kesepakatan ini. Pemerintah perlu melibatkan semua pemangku kepentingan, dari asosiasi bisnis hingga pemerintah daerah. Agar manfaat ekonomi dari kesepakatan ini bisa di rasakan secara luas.
Dampak Strategis Dan Proyeksi Masa Depan Hubungan Indonesia–EAEU tidak hanya memiliki implikasi ekonomi. Tetapi juga dampak strategis dalam geopolitik dan diplomasi internasional. Dalam konteks global yang semakin multipolar, Indonesia menunjukkan arah kebijakan. Luar negeri yang lebih seimbang dengan menjalin kemitraan dengan berbagai blok, termasuk yang berada di luar pengaruh Barat.
Presiden Prabowo dalam pernyataannya menyebut bahwa kesepakatan ini mencerminkan prinsip politik luar negeri bebas aktif Indonesia. “Kami bekerja sama dengan semua pihak, selama kerja sama itu saling menguntungkan dan menghormati kedaulatan masing-masing,” ujarnya.
Dari perspektif EAEU, Indonesia merupakan mitra penting karena merupakan negara. Dengan ekonomi terbesar di ASEAN, serta gerbang strategis menuju pasar Asia Tenggara. Dengan menjalin FTA bersama Indonesia, EAEU juga memperluas pengaruh ekonominya di Asia. Dan mengimbangi dominasi blok-blok ekonomi lain seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Di masa depan, kerja sama ini di proyeksikan akan berkembang lebih luas mencakup sektor energi, pertahanan, teknologi, pendidikan, dan pariwisata. Beberapa universitas di Indonesia dan Rusia telah menjajaki kerja sama pertukaran mahasiswa dan riset bersama.
Indonesia juga di untungkan dari diversifikasi pasokan energi dan logam industri, terutama mengingat. Rusia dan Kazakhstan merupakan eksportir utama gas alam, batu bara, uranium, dan logam tanah jarang. Kerja sama ini akan memperkuat ketahanan energi dan industri nasional di tengah ketegangan rantai pasok global.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan ini, Indonesia di rencanakan akan membuka pusat promosi perdagangan. Di Moskow dan Almaty, sementara negara-negara EAEU juga di beri insentif untuk membuka kantor dagang di Jakarta dan Surabaya.
Analis ekonomi internasional menilai kesepakatan ini sebagai langkah taktis Indonesia untuk. Mengukuhkan posisi sebagai kekuatan ekonomi menengah yang aktif, adaptif, dan mandiri. Jika di jalankan dengan komitmen tinggi dan strategi terpadu, FTA Indonesia–EAEU. Bisa menjadi model kerja sama Selatan–Selatan yang sukses di abad ke-21 dengan Kesepakatan Perdagangan Bebas.